Balikang Dari Jawa, Membangun Bali

Umat Hindu di Bali, tentu merasa bangga sekali karena telah berhasil membangun pura di kaki Gunung Semeru. Berdasarkan babad di Bali, Gunung Semeru adalah stana Hyang Pasupati, yang merupakan leluhur dari Hyang Putrajaya yang berstana di Gunung Agung. Karena itu, Semeru adalah stana leluhur orang Bali.
Leluhur orang Bali jelas merupakan kebesaran masa lalu di Jawa, yaitu Majapahit. Karena sejarah Bali dimulai dari Majapahit. Semua babad-babad tertulis dari penyerangan Majapahit ke Bali. Sebelum itu, seluruh babad menyebutkannya sebagai zaman kegelapan. Zaman dimana Bali diperintah raja raksasa yang bernama Mayadanawa.
Raksasa sudah tentu tidak membangun peradaban. Raksasa hanya membesarkan perutnya sendiri. Raksasa tidak pernah memperhatikan kesejahteraan orang lain. Karena itu, era raksasa adalah era kegelapan. Tetapi benarkah itu? Sejarah yang lainnya yaitu prasasti-prasasti ternyata menggeser opini Majapahit seperti itu. Prasasti-prasasti menunjukkan bahwa sebelum Majapahit, Bali memiliki peradaban.
Desa pakraman terbentuk sekitar abad ke-10 Masehi. Subak, bahkan terbangun sejak abad ke-7 Masehi. Kedua peradaban ini adalah peradaban besar Bali yang berlangsung hingga saat ini. Karena itu, babad yang menyatakan bahwa Bali sebelum Majapahit diperintah raksasa jelas hanya isapan jempol. Tak mungkin raksasa membangun saluran irigasi dan organisasinya yang dikagumi dunia. Tak mungkin raksasa membangun sebuah pemerintahan demokrasi desa yang baik.
Sebelum Majapahit, Bali pernah memiliki kejayaan. Bahkan, Bali sempat ingin membangun pusat dunia di Bali yang disebut sebagai “Pusering Jagat”, yang sekarang masih ada di Bedulu, Gianyar. Bali juga pernah punya ambisi untuk menjadi pusat pelayaran dunia, sehingga ada pura yang bernama “Pusering Tasik”. Karena itu, ambisi “cakrawreti” (raja dunia), tidak hanya merupakan ambisi raja-raja di Jawa. Hal itu juga menjadi ambisi raja-raja di Bali.
Akan tetapi, sejarah selalu dicetak oleh orang-orang yang menang. Orang-orang kalah, bila perlu tidak perlu disebutkan. Pada penulisan silsilah di Bali, tidak ada satu pun kelihatan keturunan raja-raja Bali kuno. Silsilah Pasek Kayu Selem memang ada, tetapi hanya disebutkan sebagai putra angkat Hyang Semeru. Hal ini hanya merupakan bentuk penghormatan kepada bangsawan Bali (prebali) yang sangat kecil. Diakui sebagai keluarga, tetapi keluarga angkat.
Kayu Selem ini memang dipersaudarakan dengan Wangsa Pasek, tetapi diikat oleh sebuah mitos tidak boleh “saling sumbah”. Artinya, kekuasaan Majapahit masih takut jika ada solidaritas antara Pasek Gelgel dan Pasek Kayu Selem. Pasek pun harus terbagi lagi menjadi “bangsa” (bahasa alusnya wangsa –red) bendesa, yang memang waktu dahulu diberikan daerah otoritas di Mas, Gianyar. Bendesa ini dipersaudarakan dengan para arya dari Jawa. Pada masa lalu, bendesa dianggap sejajar dengan para arya, sehingga mereka terputus dengan saudaranya.
Oleh karena itu, solidaritas antara orang Bali memang dipecah-pecah dari dahulu. Dalem Shri Kresna Kepakisan memang memiliki hubungan persaudaraan dengan Wangsa Pasek dan Bandesa di Bali. Tetapi, kekuasaannya terjepit di level menengah oleh para arya. Jadi struktur atas adalah Dalem, menengah Arya dan lapis bawah Pasek dan Bendesa. Di luar itu, yaitu pegunungan, ada kekuasaan Kayu Selem. Karena itu, otoritas “dalem” hanya formalitas. Sedangkan kekuasaan sehari-hari dilakukan para arya, dengan memperalat Pasek dan Bendesa yang dekat dengan masyarakat.
Majapahit, yang meletakkan orientasi pada Jawa, ternyata memang hanya menekankan pada politik kekuasaan di Bali. Karena itu, spirit perlawanan memang berkobar di Bali. Masyarakat Bali akhirnya memang membangun kekuasaan sendiri, yang disebut dengan Jro Gede Dalem Balikang, yang artinya raja yang ingin membalikkan (Balikang) keadaan. Ini adalah raja revolusi, yang ingin membangun republik di Bali.
Oleh karena itu, Jro Gede ini tidak ingin membangun pusat. Jro Gede Balikang ini ingin mencairkan pusat ke desa-desa, sehingga desa-desa bisa mandiri. Kalau pun perlu ada pemerintahan bersama, maka pemerintahnya akan berbentuk majelis yang terdiri dari wakil-wakil desa otonom. Majelis ini nanti yang akan memutuskan rencana kehidupan bersama di Bali.
Tetapi ide ini dihabisi oleh Majapahit. Majapahit membangun pemerintahan yang terpusat di Bali. Namun keterpusatan ini luluh di Bali, karena ambisi para arya yang berkuasa di level menengah. Pada abad ke-17, para anglurah kemudian mendeklarasikan diri menjadi “raja” tidak resmi. Mereka saling berperang untuk memperebutkan wilayah. Sedangkan kekuasaan pusat di Klungkung, lemah tidak berdaya. Hanya diletakkan sebagai simbol agar para arya tidak mendapatkan pemberontakan dari masyarakat Bali. Sedangkan kekuasaan pasek dan bendesa semakin menyempit sampai ke tingkat banjar. Bali pun menjadi kacau.
Oleh karena itu, apakah masih orang Bali harus berpikir tentang pusat? Bali harus bisa mandiri, sebagai sebuah masyarakat. Desa-desa di Bali, harus mampu merencanakan masa depannya sendiri. Melihat Jawa, apalagi melihat masa lalu Jawa, hanya merupakan hayalan. Majapahit telah runtuh. Karena itu, masyarakat Bali tentu tidak arif, membawa impian itu kembali. Masyarakat Bali harus mengajak Jawa membangun masa depan, dengan berangkat dari masa kini, bukan dari masa lalu.
Yang lalu, biarlah berlalu. “Karma” orang Bali dan Jawa, masih bertemu dalam Negara Republik Indonesia. Jalinan ini harus tetap terpelihara dengan kemandiriannya masing-masing. Bali harus mampu membangun dirinya dengan dasar keunikannya sendiri, demikian pula Jawa. Bali tidak perlu membawa keunikannya ke Jawa, demikian pula sebaliknya. Bali harus mulai berpikir untuk menjadi dirinya yang terbaik, sehingga bisa dicontoh di Jawa.
Pada pola pemikiran seperti itu, konsep Jro Gede “Balikang” memang cocok untuk masa kini. Orang Bali harus membenahi Bali. Setelah Bali baik maka biarlah saudara-saudara di Jawa belajar ke Bali. Mereka nanti mengembangkan kearifan Bali secara lebih luas di Jawa. Airlangga di masa lalu (sekitar abad ke-11 Masehi) mengembangkan kearifan Bali di Jawa. Beliau membangun saluran irigasi seperti Subak di Bali, dari Gunung Penanggungan di Jawa. Pada setiap perempatan air, selalu ada candi. Candi terbesar ada di “Belahan”. Nama “Belahan” menunjukkan arti “pembagian” air. Jadi, kearifan Bali biarlah disebarkan secara lebih luas oleh murid-murid Bali. Jadi, Bali tak perlu ke Jawa, untuk mem”Bali”kan Jawa. Kembalilah ke Bali, untuk membangun Bali dengan keunikannya sendiri.
Oleh: I Gede Sutarya
Bali Tribune, 18 Juli 2012



Jika Kamu Suka Dengan Postingan ini, Bagikan Link Ini Sesuka kamu



»»  Baca selengkapnya.....

Silence Day


 Setelah Car Free Day, ada baiknya kota-kota besar Indonesia juga memberlakukan Silence Day. Orang Bali menyebutnya Nyepi. Tujuannya adalah pembersihan diri, fisik, maupun spiritual. Bumi pun ikut bernafas lega, alam semesta merayakan ketenangan.

 Suara burung, angin, dan air jauh lebih indah dari klakson sepeda motor dan cacian pengemudinya. Televisi yang menyiarkan kegaduhan berhenti sejenak, juga gosip-gosip yang meng-entertain kesusahan orang lain. Banyak orang yang tak menyadari keluhan-keluhan dan rasa bencinya telah memengaruhi perputaran hormon orang-orang lain. Kegelisahan dan rasa iri begitu mudah diedarkan, dengan akun palsu yang dibuat sendiri, gratis pula.

 Tak banyak yang menyadari bahwa energi negatif itu tak lepas dari hukum kekekalan energi, terus menekan tiada henti. Beberapa kali saya berada di tengah-tengah masyarakat Bali menikmati Hari Nyepi. Saya merasa tengah berdialog dengan Tuhan dan penuh kedamaian. Esok paginya, udara jauh lebih bersih. Oksigennya banyak dan segar sekali. Namun, seperti biasa, bagi orang kota yang terperangkap dalam suasana itu, apakah karena pesawatnya tak bisa terbang, atau tugas butuh waktu lebih lama berada dalam suasana itu, sudah pasti menimbulkan kegalauan.

 Bagi orang kota, perubahan selalu disambut dengan kegaduhan dan perlawanan. Khususnya, saat lampu di lorong-lorong hotel dipadamkan, diganti lilin-lilin kecil. Sejumlah orang mengeluh. Beberapa orang yang ingin berlibur merasa telah tertangkap dalam kesunyian. Mau pulang tidak bisa, jadi yang keluar hanya keluhan. Namun, begitu selesai, merekalah yang pertama-tama menyebarkan rasa bahagia. Setiap pengorbanan selalu ada imbalannya, demikian juga setiap amarah ada karmanya.

Aura Negatif

 Kerabat-kerabat saya di Pulau Dewata sering mengucapkan kata “aura positip-aura negatip”. Menurut sahabat-sahabat saya di Desa Kedewatan-Ubud, hampir setiap upacara, umat Bali secara simbolik melakukan pembersihan diri, sekaligus menjinakkan aura-aura negatif. Nafsu duniawi, angkara murka, semua yang jahat dilambangkan dengan warna hitam dan wajah-wajah yang menakutkan.

 Semua itu harus dijinakkan. Di Jakarta kita menyebutnya setan atau iblis. Roh-roh jahat pembawa penderitaan. Sedangkan yang baik-baik, suci, dilambangkan dengan segala yang serbaputih dan berwajah ceria. Hitam dan putih selalu berjalan beriringan. Tanpa ada hitam, tak ada keindahan putih. Bagi saya, sehari saja orangorang kota berhenti beraktivitas dan menjalankan Silence Day, manfaatnya akan banyak sekali. Apalagi bila Catur Brata juga dijalankan: Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan.

 Berhenti menyalakan api (tidak mengobarkan hawa nafsu), berhenti kerja (fokus pada Tuhan, menyucikan rohani), tidak bepergian (introspeksi diri, kontemplasi), dan tidak mengobarkan hedonisme. Bayangkan, berapa ton karbon hitam yang bisa kita hemat dan berapa juta ton dosa umat manusia, termasuk segala sampahnya, bisa kita bersihkan. Kapitalisme hanya bisa berhenti kalau semuanya berhenti konsumsi bersama-sama. Walau cuma sesaat.

 Buat orang desa, diam berarti emas. Tetapi, buat orang kota, bicara itu emas. Seorang penyiar radio berkelakar, ”Saya dibayar hanya kalau saya bawel.” Entah bicara positif, entah negatif. Pokoknya bicara. Tetapi, bagi orang-orang yang mendengarkan, emas itu baru berkilauan kalau banyak orang diam. Sesuatu yang berkilauan itu hanya tampak dari aura-aura yang positif. Aura-aura positif dan negatif sama-sama saling menularkan.

 Orang tak senang terhadap sesuatu hal akan didukung oleh orang-orang yang juga tidak senang. Provokator pun laris manis, disambut umpatan- umpatan baru. Di sosial media seorang yang menyebarkan kalimat-kalimat negatif jarang dibantah. Yang ada hanya gulungan-gulungan aura negatif. Hanya orang yang punya lentera jiwa yang terang yang berani mematahkan aura-aura negatif itu. Kicauan negatif biasa dijawab dengan umpatan-umpatan yang lebih negatif.

 Seorang dokter yang memasang foto kepala seekor anjing di Facebook-nya bisa-bisanya mengeluarkan umpatan-umpatan liar sambil mengutip kalimat seorang imam (yang juga beraura negatif). Ia seperti tengah melupakan profesinya. Tetapi, begitu dikritik, ia dengan lantang menyebutkan, “Saya dokter di rumah sakit ‘X’.”

 Indonesia yang Lebih Sejuk

 Kalau orang kota menjalankan Silence Day sehari saja, rasanya Indonesia akan lebih sejuk. Polusi udara dan polusi pikiran akan membuat bangsa ini lebih sehat. Toh, kita sudah lihat, orang-orang yang bersuara negatif ternyata “penjahat” pula. Dulu kita pikir mereka hebat, pemberani, kritis, dan jujur. Ternyata mereka menyimpan agenda-agenda terselubung. Menyerang untuk bertahan.

 Banyak persoalan yang mereka sembunyikan. Begitu dibuka, marahnya minta ampun. Bahkan bisa memerkarakan orang lain. Aura-aura negatif ini sudah terlalu banyak ditabur dan memerangkap banyak orang. Kita pikir itu demokrasi, padahal democrazy. Wartawan saja bisa terkecoh karena mereka pandai membuat “framing”. Pandai menjerat tokoh-tokoh besar untuk meng-endorse langkah- langkah itu.

 Kalau manusia kota berhenti berbicara, berhenti menaburkan aura-aura negatif, manusia introspektif akan terbentuk. Seperti kata Deepak Chopra. “Alam semesta saling berinteraksi, pikiranmu adalah pikiran alam semesta, energimu adalah cerminan dan energi alam semesta”. Alam semesta adalah representasi dari pikir manusia yang tinggal di dalamnya, yang berinteraksi dengannya.

 Jadi, orang Jakarta, seperti juga Surabaya, Semarang, Solo, Yogya, Bandung, dan Serang, dan kota-kota besar lainnya perlu membudayakan Silence Day cukup sehari saja setahun untuk menciptakan kerukunan dan kebahagiaan. Semua berhenti, kecuali suara azan, lonceng gereja, atau panggilan memuja Allah. Siapa mau memulainya?

Rhenald Kasali ; 
Ketua Program MM UI
SINDO, 14 Maret 2013

Jika Kamu Suka Dengan Postingan ini, Bagikan Link Ini Sesuka kamu



»»  Baca selengkapnya.....

Nyepi dan Sepi dari Korupsi


 Pada Nyepi tahun ini, yang jatuh pada hari Selasa (12/3), umat Hindu memasuki Tahun Baru Saka 1935. Namun, Nyepi bukan sekadar pergantian tahun Saka, tapi juga hari raya yang disucikan, khususnya bagi hampir tiga juta penganut Hindu Bali dan di berbagai kawasan di Tanah Air.

 Ada beberapa ritual dalam menyambut Nyepi. Beberapa hari sebelum Nyepi digelar ritual Melasti, yakni menyucikan arca serta simbol-simbol agama Hindu Dharma guna mendekatkan diri kepada Tuhan. Ritual ini dimaksudkan untuk menyucikan seluruh isi dunia dan khususnya untuk mengambil Amerta atau air suci kehidupan dari laut dan sumber air lainnya. Lalu sehari sebelum Nyepi digelar ritual Tawur Kesanga, terdiri atas upacara Bhuta Yadnya dan Ngrupuk.

 Bhuta Yadnya adalah ritual memberi persembahan pada Sang Bhuta Kala agar tidak mengganggu umat manusia. Dalam ritual ini umat Hindu membuat ogoh-ogohatau patung raksasa dari bambu yang merupakan simbol roh jahat di sekitar kita sehingga perlu disingkirkan. Cara penyingkiran adalah dengan ritual ngrupuk yakni mengarak ogoh-ogoh lalu membakarnya.

 Dengan demikian, roh jahat bisa diusir dan tidak jadi menguasai dunia. Nah, jika kita hendak mencari relevansi pesan suci Nyepi dengan masalah di negeri ini, tentu saja ada. Misalnya jika kita bicara tentang roh jahat atau kejahatan terbesar yang paling menjadi masalah bagi kita harihari ini, jelas bisa kita lihat pada maraknya praktik korupsi di sini.

 Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD menyebut, korupsilah masalah terbesar bangsa kita saat ini. Memang, bila kita bicara korupsi dan kaitkan dengan agama, kita menjadi malu. Sungguh menyayat hati manakala perintah Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa agar tidak mencuri, mengambil milik orang lain, atau korupsi—seperti tertulis di Kitab Suci semua agama—kini seperti tak punya pengaruh lagi.

 Buktinya, para koruptor baru justru terus bermunculan. Padahal di negara-negara sekuler, bahkan mayoritas warganya tidak peduli pada agama, seperti Denmark, korupsinya justru nihil. Apalagi, jika kita membincangkan korupsi di Departemen Agama yang konon justru menjadi sarang korupsi, jelas tambah malu hati ini. Sayang, justru mungkin kita sudah kehilangan hati alias sudah mati rasa, sehingga korupsi seolah sudah sulit dihentikan.

Kemunafikan

 Kenyataan korupsi yang kian marak ini jelas bisa membuat sebagian dari kita apatis. Mungkin benar tudingan budayawan dan wartawan senior Mochtar Lubis (almarhum), betapa munafiknya bangsa ini. Pencucian uang hasil korupsi lewat tindakan ritual keagamaan, seperti pernah dibeber Profesor Komaruddin Hidayat, jelas merupakan bentuk kemunafikan.

 Pelaksanaan ritual keagamaan idealnya membuahkan perilaku yang terpuji, bukan perilaku tidak terpuji seperti korupsi. Sayangnya, ritual keagamaan yang terjadi tidak menghasilkan buah perubahan hidup secara konkret. Banyak yang melakukannya hanya untuk mencari pujian dari orang lain sehingga citranya terdongkrak serta korupsi yang dilakukan jadi tidak ketahuan.

 Padahal kita tidak bisa berpura- pura, apalagi di hadapan Sang Pencipta yang sudah pasti amat membenci kepura-puraan. Segala topeng yang coba kita pasang tidak akan bisa menutupi segala perilaku yang tak terpuji. Sebagaimana arti kata korupsi dari bahasa Latin “corrumpere” yang berarti merusak atau membusukkan, maka jika tidak hati-hati, kita semua, tak terkecuali tokoh agama atau institusi agama, juga bisa dibusukkan oleh uang haram hasil korupsi.

 Teten Masduki, aktivis antikorupsi kawakan, pernah berkisah, betapa dia tak habis mengerti dengan beberapa tokoh agama dan pengikutnya yang justru membela mati-matian tersangka korupsi di pengadilan, padahal korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa. Korupsi memang luar biasa jahat karena jelas menyakiti dan menganiaya banyak pihak, khususnya kaum miskin.

 Dengan uang negara yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi, kesempatan menjadi hilang bagi anak- anak miskin yang menderita gizi buruk untuk mendapatkan asupan gizi cukup. Akibat dirampok koruptor, banyak anak miskin tidak bisa masuk ke perguruan tinggi yang biayanya kian mahal.

 Jalan-jalan tambah rusak, karena anggaran pembangunannya sudah disunat dan dibelikan material yang murah sehingga jalan menjadi cepat rusak, berlubang, dan rawan kecelakaan. Ada rangkaian dampak buruk dari tindakan para koruptor sehingga para koruptor sebenarnya harus dihukum seberat-beratnya.

Agama dan Hukum

 Namun bila kita mengaitkan agama dan korupsi, kita harus hati-hati. Jangan sampai kesimpulan akhirnya menyalahkan agama, untuk tindakan korupsi ini. Karena untuk mengatasi korupsi, memang bukan tanggung jawab agama saja. Penegakan hukum, seperti penguatan KPK agar para koruptor dihukum seberat-beratnya, merupakan solusi utama.

 Maka KPK, yang menjadi tumpuan harapan terakhir, harus terus mendapat dukungan. Apalagi kabarnya sedang terjadi serangan balik dari para koruptor yang bekerja dengan mafia hukum di tahun politik kali ini (2013), agar KPK lemah menjelang 2014 mendatang. Dengan demikian, mereka yang merampok uang negara bisa terus berpesta-pora di atas kebangkrutan negara dan penderitaan rakyat, khususnya wong cilik.

 Jadi dalam upaya mengatasi korupsi, upaya ini bukan tanggung jawab agama saja. Agama hanya berperan sebagai “early warning sistem“ agar orang jangan korupsi. Tapi bila orang sudah melakukan tindak pidana korupsi, hukum positif kita yang harus bertindak tegas. Jadi kunci utamanya tetap pada penegakan hukum. Bagaimanapun, kita tidak boleh apatis atau putus asa.

 Gerakan masyarakat sipil untuk antikorupsi jelas perlu terus didorong, terlebih di tahun politik, yang jelas akan diwarnai banyak politik uang dan korupsi. Umat Hindu, meski minoritas, perlu menggelar sinergi dengan semua umat beragama lain.

 Sinergi ini perlu digalakkan agar kelak negeri ini sungguh bersih dari korupsi. Mari, Nyepi tahun ini kita jadikan momentum untuk menyepi, membersihkan diri dan berani mengalahkan roh jahat serta godaan untuk korupsi sehingga Indonesia menjadi lebih baik.

Made Ayu Nita Trisna Dewi  ;  
Alumnus Program Master Psikologi Agama National Chengchi University, Taipei
SINDO, 12 Maret 2013

Jika Kamu Suka Dengan Postingan ini, Bagikan Link Ini Sesuka kamu



»»  Baca selengkapnya.....

Nyepi Menuju Pribadi Dharma


  ADA keunikan di kalangan umat Hindu dalam merayakan hari rayanya. Umat lain merayakan hari raya penuh dengan keramaian dan kegembiraan. Namun, umat Hindu merayakannya dengan penuh keheningan. Atau yang biasa disebut Nyepi.

Ada empat hal yang mereka lakukan selama Nyepi berlangsung. Empat hal yang juga disebut Catur Berata itu meliputi Amati Karya, Amati Geni, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Masing-masing memiliki makna yang mendalam.

Amati Karya diartikan tidak melakukan kegiatan apa pun. Lalu, Amati Geni diwujudkan dengan tidak adanya penerangan di sekelilingnya. Suasana dipastikan alami tanpa ada sinar api ataupun listrik. Selanjutnya, Amati Lelungan yang berarti tidak bepergian. Mereka hanya berdiam diri sambil merenungkan semua tindakan yang sudah dilakukan. Terakhir, Amati Lelanguan, yakni tidak adanya hiburan sama sekali. Hanya suara alam dan sekitarnya yang mereka dengar.

Empat hal itu membuat suasana tenang. Mereka tidak terusik peristiwa di sekelilingnya. Konsentrasi hanya tertuju pada perenungan pribadi dan kehidupannya. Lalu, melakukan koreksi sambil menilai pelaksanaan trikarya dalam ajaran Hindu.

Trikarya merupakan tiga hal yang ditekankan dalam Hindu. Yakni, Kayukan atau perbuatan, Wacika yang berarti perkataan, serta Manacika yang bermakna pikiran. Tiga hal itu merupakan liku-liku yang mengelilingi manusia. Bisa jadi, tersesatnya manusia bisa berawal dari pelaksanaan trikarya yang tidak baik.

Setelah merenungi dan mengevaluasi pelaksanaan tiga hal itu, mereka diminta mempersiapkan diri Trikarya Parisudha (trikarya yang suci) pada masa depan. Dengan begitu, keteladanan hidup akan tertata. Baik secara pribadi maupun dengan masyarakat lainnya.

Selain merenungkan trikarya, umat Hindu dituntut melakukan evaluasi diri tentang pendakian rohani yang telah dicapai. Di antaranya mengenai hakikat dan tujuan hidup di dunia, sehingga menjadi manusia yang berarti dan membawa manfaat bagi sekelilingnya.

Hal-hal tersebut bisa dilakukan dengan baik. Sebab, suasana selama Catur Berata berlangsung membantu perenungan bisa berjalan baik. Pikiran terkonsentrasi pada semua aspek perilaku hidup yang bisa dijalani. Hasilnya pun luar biasa, setiap pribadi merasakan arti hidup yang sebenarnya. Lalu, membikin langkah yang harus dilakukan untuk menyempurnakan hidup bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Namun, persoalannya, esensi ajaran itu sering tidak maksimal. Apalagi, tantangan umat semakin kompleks. Tidak hanya dari dalam diri, lingkungan sekitar juga sangat berpengaruh. Wajar jika akhirnya ritual yang dijalani umat saat Nyepi berlangsung tidak berpengaruh pada kepriadiannya.

Ibadah dan kekhusyukan selama Nyepi hanya menjadi seremoni atau rutinitas setiap tahun. Proses dan tahap dilaksanakan seluruh umat dengan penuh keyakinan, tapi tidak bermakna secara mendalam. Karena itu, perilaku tetap sama dan kesalahan masa lalu masih terulang. Patut disayangkan.

Nyepi tahun ini merupakan tantangan semua umat. Esensi ibadah harus lebih ditekankan dan bukan sekadar rutinitas. Pelaksanaan ibadah perlu ditambah. Salah satunya dengan puasa. Baik puasa tidak makan dan minum selama 24 jam. Atau, hanya puasa ringan, yakni memakan nasi putih dan air kelapa gading muda. Ibadah tersebut secara naluri memberikan pembelajaran hati kepada umat.

Selain ibadah ringan, tanggung jawab menjadi elemen terpenting yang harus dijunjung tinggi. Melaksanakan tanggung jawab sangat berat. Perenungan selama Nyepi, lalu Trikarya Parisudha, harus dilaksanakan baik. Jika itu tidak terlaksana, tanggung jawab manusia langsung tertuju pada Sang Pencipta.

Dengan begitu, Nyepi akan menjadi momen bagi umat Hindu untuk menjadi yang lebih baik. Sebab, saat itu umat merenungi semua kesalahan dan kekurangan. Kemudian, berniat memperbaiki dengan tanggung jawab yang tinggi. Secara otomatis, pribadi umat akan semakin mengerti hakikat kehidupan di dunia. Pada waktunya nanti, umat tertuju pada pribadi yang dharma dan menjauhi sifat-sifat adharma.

Sangat jarang umat memaknai Nyepi sebagai tonggak penyadaran dharma. Lebih banyak sekadar perayaan dengan penuh kekeluargaan tanpa mengedepankan esensi ibadah. Sudah seharusnya kebiasaan yang terjadi tahun ke tahun itu diubah. Menjadikan Nyepi dengan motivasi menjadi pribadi yang dharma sesuai dengan ajaran agama.

Semua pasti menginginkan terwujudnya tiga hal konsep masyarakat. Yaitu, masyarakat Satyam yang berarti kesungguhan dalam menerapkan aturan yang benar. Lalu, Sivam yang berarti ketulusan yang mengutamakan kesucian. Serta, Siwam yang bermakna keharmonisan, keindahan, serta keseimbangan antara unsur fisik dan nonfisik.

Tiga hal itu sangat mudah dicapai. Syaratnya, ada kemauan dan ketekunan dari pribadi umat dalam menjalankan ibadah. Sangat diyakini, jika esensi ibadah Nyepi terlaksana dengan baik dan penuh tanggung jawab, tiga konsep masyarakat itu akan terwujud. Dampak nyata dirasakan umat di dunia, kebahagiaan, ketenteraman, dan kedamaian.

Negeri ini butuh konsep itu. Umat Hindu di Indonesia juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkannya. Artinya, ketekunan melaksanakan ibadah pada momen Nyepi menjadi aspek penting untuk mewujudkan kedamaian serta kebahagiaan di masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.

Sudah saatnya umat bangkit bersama. Menjunjung tinggi ajaran agama, melaksanakan, untuk mencapai pribadi yang dharma. Dari pribadi dharma, terwujud kehidupan sosial yang baik untuk mewujudkan konsep Satyam, Sivam, dan Siwam.

Hindu bukan sekadar agama yang membawa kedamaian untuk umatnya. Melainkan, agama yang mampu mewujudkan kedamaian untuk semua manusia. Sebab, Hindu bukan agama egois yang menganggap kebahagiaan untuk kelompok tertentu, tapi lebih pada seluruh manusia di dunia.

I Wayan Dendra  ;  
Umat Hindu, Anggota DPRD Sidoarjo dari Partai Hanura
JAWA POS, 12 Maret 2013

Jika Kamu Suka Dengan Postingan ini, Bagikan Link Ini Sesuka kamu



»»  Baca selengkapnya.....

Nyepi dan Environmentalisme Hindu


 Umat Hindu merayakan Nyepi, 12 April ini. Pada Hari Raya Nyepi, suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan seperti biasa. Umat Hindu melaksanakan Catur Brata, penyepian yang terdiri dari amati geni (tidak menggunakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan).

 Secara sekilas, filosofi Nyepi terlihat seperti ajaran yang sekadar mengajak manusia mengambil jeda sejenak dari dunia atau bahkan menganggap dunia sebagai buruk.

 Padahal, jika ditelaah, ajaran Nyepi sejatinya punya makna yang luar biasa konkret lagi positif bagi   kehidupan duniawi kita; yaitu ia mampu mencetuskan environmentalisme Hindu yang bisa bermanfaat bagi pelestarian lingkungan di tengah geliat dahsyat ekonomi industri yang tinggi karbon.

 Dalam konteks penggunaan energi, hasrat ekonomi industri yang rakus melahap energi dan gemar melepaskan karbon lewat cerobong pabrik itu memang sangat berbahaya.

 Bayangkan saja, data National Geographic (2011) menunjukkan penggunaan bahan bakar minyak tinggi karbon telah melepaskan 16.000 kilometer kubik karbon dioksida ke atmosfer per tahun! Karbon inilah yang lalu menumpuk sebagai selubung di atmosfer sehingga alih-alih membiarkan panas terlepas ke udara, selubung itu justru memantulkan panas kembali ke Bumi dan menyebabkan pemanasan global.

 Pada titik inilah, semangat Nyepi yang mematikan semua aktivitas selama satu hari penuh bisa berujung pada penekanan emisi karbon. Artinya, salah satu esensi Nyepi adalah upaya merawat alam supaya lebih seimbang dan terpelihara. Singkat kata, spirit Nyepi sekaligus menjadi ilham deras bagi munculnya environmentalisme Hindu.

Chipko dan Gandhiisme

 Ruh Nyepi yang ramah lingkungan memang menginspirasi gerakan-gerakan besar bercorak Hindu yang bertujuan melestarikan alam. Setidaknya ada dua gerakan terpenting semacam itu. Pertama, gerakan Chipko.

 Memiliki arti “merangkul”, Chipko adalah sebuah gerakan yang berdiri tahun 1913 dengan tujuan melindungi tanah-tanah hutan (Tucker dan Grim, Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup, Kanisius, 2003:147).

 Setelah sempat vakum, gerakan ini dihidupkan kembali pada 1977 oleh sebuah kelompok perempuan di daerah Himalaya yang mengikat benang-benang suci dan membentuk rantai mengelilingi pohon-pohon—persis seperti gerakan memeluk—supaya tidak terkena aksi penebangan besar-besaran oleh perusahaan penambangan.

 Kaum perempuan yang tinggal di daerah-daerah berhutan selama beberapa milenium memang memiliki ketergantungan hidup kepada pohon. Hutan menyediakan makanan ternak, pupuk, makanan, air, dan bahan bakar. Oleh karena itu, penebangan hutan mengganggu keseimbangan ekologis dan menyebabkan kerusakan besar di pelbagai belahan India.

 Kedua, Gandhiisme. Berpijak pada ajaran tanpa kekerasan (ahimsa) dan tanpa kepemilikan (aparigraha), Gandhi tegas mengampanyekan pentingnya bagi perekonomian India untuk membuat desa-desa mandiri yang giat melakukan swasembada kebutuhan demi meniadakan impor barang (Gandhi, The Village Reconstruction, 1966:43).

 Menurut Gandhi, ekonomi industri yang rakus energi dan gemar berpolusi pasti akan melahirkan kompetisi, keserakahan, dan eksploitasi terhadap desa-desa. Dengan demikian, industrialisasi cuma akan melahirkan keinginan tak kunjung henti dari manusia yang hanya bisa dipuaskan oleh aktivitas buas mesin industri yang, lagi-lagi, mengepulkan karbon hitam perusak lingkungan.

 Oleh karena itu, melakukan swasembada di tingkat desa, khususnya makanan dan pakaian, akan meminimalkan kebutuhan manusia sekaligus menekan keperluan akan sarana-sarana yang digunakan untuk menghasilkan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Ini bisa mengerem laju industri dan tingkat perusakan lingkungan akibat ekonomi modern yang mendewakan teknologi pengeksploitasi alam.

Kearifan Lingkungan

 Dari sini, kita bisa lihat bagaimana ajaran Nyepi mampu menjadi aset kultural andal bagi umat manusia untuk menghalau bahaya lingkungan, yang salah satunya disebabkan pemanasan global akibat limbah karbon dari kegiatan ekonomi industri modern berbasiskan teknologi.

 Gerakan Chipko dan swasembada ajaran Gandhi adalah bukti betapa semangat Nyepi mampu mewariskan sejumlah kearifan lingkungan luar biasa yang sangat relevan dan aktual bagi kehidupan kontemporer.

 Pertama, gerakan melindungi pohon ala Chipko kini digalakkan secara intens oleh masyarakat global. Ini karena komunitas dunia kini mulai menyadari betapa pentingnya pohon sebagai penyerap emisi karbon.

 Lebih jauh lagi, karenanya, perekonomian mondial kini mengenal konsep perdagangan karbon (carbon trading), di mana negara yang masih memiliki banyak pohon penyerap karbon bisa menjual potensi serapan mereka itu—berupa janji tidak menebang pohon—dengan harga mahal kepada negara industri yang masih ingin mengepulkan emisi karbon.

 Kedua, gerakan mengurangi impor ala Gandhiisme juga mulai diadopsi banyak warga dunia. Munculnya slogan-slogan berbau proteksionisme seperti Buy America (beli produk-produk buatan Amerika sendiri) yang didengung-dengungkan Presiden Obama adalah contoh telak betapa ajaran Gandhi yang diilhami spirit Nyepi telah mampu merambah ke belahan dunia Barat—bahkan kiblatnya langsung, AS—sana.

 Terbukti ajaran mengurangi impor mampu menumbuhkan kemandirian bangsa, memperkuat perekonomian lokal di tengah krisis finansial global, sekaligus mengurangi dampak kerusakan lingkungan.

 Akhirulkalam, Hari Raya Nyepi seyogianya jangan ditafsirkan sebagai laku spiritual semata, melainkan sebagai bentuk ibadah dari salah satu agama tertua di dunia yang ternyata memiliki dampak nyata bagi kehidupan umat manusia; baik dari segi perekonomian maupun lingkungan. Selamat Hari Raya Nyepi!

Satrio Wahono  ;  
Magister Filsafat UI dan Pengajar FE Universitas Pancasila
SINAR HARAPAN, 11 Maret 2013

Jika Kamu Suka Dengan Postingan ini, Bagikan Link Ini Sesuka kamu



»»  Baca selengkapnya.....