Nyepi sebagai Introspeksi


  HARI Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1935 yang dirayakan umat Hindu se-Indonesia tahun ini jatuh pada Selasa, 12 Maret 2013. Rangkaian perayaan meliputi melasti, tawur agung, dan catur brata penyepian merupakan momen reflektif bagi umat Hindu dalam menjaga keseimbangan alam dan diri sendiri sehingga tercipta kehidupan yang mendamaikan jiwa.

Umat Hindu meyakini bahwa kebahagiaan dan kedamaian dalam menjalani kehidupan di dunia dapat dicapai dengan melaksanakan ajaran Tri Hita Karana. Ajaran itu bermakna tiga hubungan harmonis, menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan Sang Pencipta, antara manusia dan lingkungan/ alam semesta, serta antara manusia satu dan lainnya.

Kealpaan manusia menjaga harmonisasi dengan alam, seperti penggundulan hutan atau menghilangkan kawasan hijau dapat memicu terjadinya banjir atau tanah longsor. Bencana alam yang tidak kita kehendaki itu, acap menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda tidak sedikit.

Demikian juga bila kita abai menjaga harmonisasi hubungan antarmanusia maka yang terjadi adalah kondisi seperti saat ini yang disesaki oleh gejolak dalam berbagai bidang, seperti kegaduhan situasi politik menjelang Pemilu 2014, pertengkaran dan perang opini antarpartai dan antarpolitikus tiap saat kita saksikan lewat berbagai media massa. Juga yang tidak kalah menyedihkan begitu banyak konflik kepentingan yang terjadi pada masyarakat yang kemudian berujung pada kekerasan, kekerasan antarkelompok,bahkan akhir-akhir ini begitu banyak terjadi kekerasan terhadap anak.

Salah satu makna pelaksanaan Hari Raya Nyepi, yakni momentum untuk introspeksi, saya kira  sangat relevan bila kita kaitkan dengan situasi kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini. Introspeksi dapat dikatakan sebagai perjalanan ke dalam diri untuk mengetahui secara jernih dan jujur semua pikiran, perkataan, dan perbuatan yang kita lakukan selama ini.

Sudahkah semua itu memenuhi berbagai norma yang sepatutnya kita pedomani, seperti norma agama, kepatutan dan kesantunan, serta norma hukum? Introspeksi dapat kita ibaratkan bercermin dengan jujur dan cerdas dan upaya itu bukan perkara mudah. Pasalnya, menemukan kekurangan, kelemahan, dan kesalahan diri, butuh sikap arif dan bijak serta tingkat spiritual yang memadai.

Tanpa kearifan maka yang hadir malah ketidakjujuran sebagai pembelaan diri atau berbagai alasan pembenar dan pemaaf bagi diri sendiri. Pada akhirnya kita tidak akan pernah dapat menemukan langkah tepat untuk memperbaiki diri, sebaliknya membiarkan untuk terus terjebak pada kesalahan dan kekeliruan  berkepanjangan.

Pelaksanaan Hari Raya Nyepi mewajibkan umat Hindu melaksanakan catur brata, yang bisa diartikan empat pantangan selama 24 jam, yakni tidak menyalakan api atau penerangan (amati geni), tidak melakukan aktivitas kerja (amati karya), tidak bepergian (amati lelungan), dan tidak diperkenankan bersenang-senang/ menikmati hiburan (amati lelanguan). Melaksanakan brata penyepian ini dimaksudkan untuk memberikan ruang dan waktu yang berkualitas utama guna melakukan perenungan dan intorspeksi diri secara baik serta sekaligus sebagai sarana kontemplasi, refleksi dan merumuskan proyeksi serta  prioritas yang hendak diwujudkan kedepan.

Keunggulan Rohani

Musuh dalam diri yang acap menggoda dan berusaha menguasai hati dan pikiran kita, sebenarnya dapat kita taklukkan atau kendalikan, tidak saja dengan kecerdasan intelektual tetapi juga dengan meningkatkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Musuh itu antara lain sifat tamak, sombong, rasa ingin selalu marah, iri hati, selalu berprasangka buruk serta mau menang sendiri.

Terkait dengan rutinitas keseharian kita yang dipenuhi ingar-bingar keramaian, adakalanya butuh suasana sepi dan sunyi untuk melihat seberkas cahaya terang dalam diri yang akan membasuh dan membersihkan hati kita sehingga mampu menangkal berbagai godaan yang dapat menjerumuskan ke jurang derita panjang.  Hal ini selaras dengan ucapan Adi Sankarcarya, filsuf besar India pada abad ke-8, yakni, sepi adalah pintu pertama menuju keunggulan rohani.

Tentu saja Nyepi hanyalah momentum untuk introspeksi karena sesungguhnya sebagai manusia yang dikaruniai akal budi, kita wajib memiliki kesadaran untuk terus-menerus mencerahkan batin. Upaya itu bertujuan supaya langkah kita pada esok hari lebih baik dibandingkan dengan hari ini.

Memperbaiki kualitas diri, akan meningkatkan nilai-nilai untuk saling menghargai dan menghormati dalam kesetaraan, kebersamaan, dan keberagaman yang mendamaikan dan meningkatkan nilai luhur lainnya.  Manakala bisa melakukan dengan baik, niscaya mengantarkan kita pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih damai dan lebih elok.  Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1935. Semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu

Putu Adhi Sutrisna  ;  
Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 11 Maret 2013

Jika Kamu Suka Dengan Postingan ini, Bagikan Link Ini Sesuka kamu



»»  Baca selengkapnya.....

Nyepi dan Kebudayaan Luhur

 Perayaan Hari Raya Nyepi tahun ini jatuh pada Selasa, Sasih Kadasa, Tahun Baru Saka 1935 bertepatan dengan tanggal 12 Maret 2013 Masehi. Tema yang diusung Kanthi Luhuring Budi, Umat Hindu Memetri Budaya Ngudi Raharjaning Praja, yang berarti "Dengan Keluhuran Budi, Umat Hindu Melestarikan Kebudayaan Luhur Guna Pencapaian Kesejahteraan Bangsa dan Negara". Pada puncak perayaan Nyepi ini umat Hindu Indonesia khususnya di daerah "Pulau Dewata" Bali melakukan ritual Brata Penyepian yang dideskripsikan dengan empat larangan beraktivitas. Pertama, amati geni (tidak menyalakan api). Kedua, amati karya (tidak bekerja). Ketiga, amati lelungan (tidak bepergian). Keempat, amati lelanguan (tidak melakukan kegiatan hiburan).

 Secara etimologis asal kata 'nyepi' berasal dari kata 'sepi' yang memiliki padanan kata sunyi, senyap, dan hening. Berdasar kata tersebut, kegiatan Nyepi dengan ritual Brata Penyepian ini menekankan pada prinsip keseimbangan. Yakni, suatu proses mengembalikan (dikembalikan) alam beserta isinya (microcosmos dan macrocosmos) ke dalam suatu keadaan titik/masa, sepi, (sunyi, hening, dan senyap). Tetapi, bukan berarti semua itu tanpa isi, rasa dan makna, ke"nihil"an atau "nol" pada tatanan sosial-kemasyarakatan yang hidup dan bernilai suci serta merupakan suatu tingkatan tertinggi dari sebuah ukuran manusia yang taat kepada ajaran suci Hindu.

 Ritual Brata Penyepian ini juga merupakan suatu kegiatan pengekangan terhadap kecenderungan hawa nafsu yang mengajak kepada keburukan (instrospeksi) dengan disertai suatu keikhlasan dan penyerahan total kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam mencapai suatu keadaan ketenangan dan kedamaian serta kesucian lahir dan batin. Manusia sebagai makhluk ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa, wajib berdoa untuk menyucikan alam beserta isinya, yakni microcosmos (alam manusia) dan macrocosmos (alam semesta).

 Umat Hindu diwajibkan untuk menjalankan upacara sembahyang keagamaan. Pertama, berupa tapa (latihan ketahanan menderita). Kedua, brata (mengekang nafsu). Ketiga, yoga (menghubungkan jiwa dengan Tuhan). Keempat, samadi (penyatuan dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa) untuk meraih kesucian lahir batin.

 Praktis saja bandar udara, tempat-tempat publik pada tutup terkecuali rumah sakit dan klinik. Objek-objek wisata di kawasan Pulau Dewata pun diistirahatkan untuk sementara waktu selama perayaan Nyepi, seperti Batubulan, Bedugul, Goa Gajah, Jimbaran, , Mangrove, Nusa Lembongan, Pura Besakih, Tampaksiring, Tanah Lot, Tanjung Benoa, Tegalalang, Ubud dan Uluwatu. Para pecalang (polisi adat) melakukan penjagaan dan pemantauan ke seluruh daerah di Bali untuk memastikan tidak ada orang yang keluar dari tempat penyepian (pura atau rumah). Bilamana ada orang yang melanggar dan tertangkap, maka akan diberi sanksi adat.

Jika kita menangkap makna yang terkandung dari pesan-pesan Nyepi di atas, dan mengaplikasikannya dalam ranah kehidupan keseharian baik individu, masyarakat, bangsa maupun negara, maka banyak sekali faedah yang didapat yang pada intinya berupa pesan perdamaian dan toleransi di antara makhluk Tuhan dengan tidak memandang suku, agama dan ras antar golongan (SARA).

 Menurut Emile Durkheim (1976), agama adalah suatu sistem kepercayaan beserta praktiknya, berkenaan dengan hal-hal yang sakral yang menyatukan pengikutnya dalam suatu komunitas moral. Agama merupakan bagian yang sangat mendalam dari kepribadian (privacy), karena agama selalu bersangkutan dengan kepekaan emosional. Agama merupakan hal yang sensitif dan sering menghambat proses integrasi sosial, terutama pada masyarakat majemuk yang memiliki bermacam-macam agama dengan doktrin yang berbeda-beda. Agama memiliki ajaran yang mengatur kehidupan bersama tanpa memandang ras, pangkat, derajat, jenis kelamin, dan unsur-unsur pembeda lainnya. Agama menganjurkan suatu kerja sama antar-pemeluk agama.

 Di tengah carut marutnya tatanan bermasyarakat dan bernegara dewasa ini, yang dulu di mancanegara bangsa Indonesia dikenal dengan keramahannya, kini telah mengalami degradasi secara drastis. Seakan-akan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang pemarah, dan tidak cinta akan kerukunan dan kedamaian, setiap pemeluk agama saling serang dan terjadi kecurigaan. Sungguh ini merupakan hal yang sangat ironis. Sejarah peradaban bangsa Indonesia mencatat di era kejayaan kerajaan Nusantara, bangsa ini telah mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang rukun. Hal ini tersurat dalam kitab Sutasoma dengan semboyan "Bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa", yang bermakna meskipun berbeda-beda, namun satu jua tak ada hukum yang mendua. Ini merupakan fakta sejarah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk serta cinta perdamaian.

 Kiranya bangsa Indonesia perlu meneladani ajaran Hindu yang berkenaan dengan kepemimpinan dan tata negara. Untuk mendalami tentang kepemimpinan dan konsep negara menurut agama Hindu ini kita bisa merujuk buku karya Oka Mahendra berjudul "Ajaran Hindu tentang Kepemimpinan, Konsep Negara, dan Wiwaha" terbitan Pustaka Manikgeni. Buku ini memaparkan betapa agungnya ajaran Hindu berkenaan dengan kepemimpinan secara luas.

 Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai wadah bagi para pemuka agama Hindu Indonesia dan Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) sebagai perhimpunan keluarga besar mahasiswa Hindu Indonesia kiranya mesti menyampaikan rekomendasi melalui moment perayaan Nyepi sebagai tawaran solusi bagi permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia dengan cara melestarikan kebudayaan luhur guna pencapaian kesejahteraan bangsa dan negara.
 Selamat menunaikan Brata Penyepian dan Tahun Baru Saka 1935

Ade Sunarya  ;  
Budayawan
SUARA KARYA, 11 Maret 2013

Jika Kamu Suka Dengan Postingan ini, Bagikan Link Ini Sesuka kamu



»»  Baca selengkapnya.....

Promosi Balian Dan Testemoni Pasien "Menyesatkan"


Pada umunya orang yang Masiet Peteng, berkelahi dengan menggunakan black magic (Ilmu Hitam) adalah Balian Pangiwa yang dikuasi oleh tujuh kegelapan, yaitu: peteng pitu, tujuh hal yang menyebabkan pikiran gelap; kecantikan, kekayaan, kepandaian, kebangsawanan, kemudaan, minuman keras, kebranian (yang berlebihan). Black magic atau ilmu hitam sering disebut dengan pengeléakan, karena didorong oleh tujuh kegelapan, pada umumnya mereka lebih cepat emosi menghadapi permasalahan dalam kehidupan. Ketika mereka bertemu pada orang yang memiliki tingkat emosional yang sama, dan sama-sama berprofesi sebagai Balian, maka terjadilah siat peteng. Bila dua léak bermusuhan kemudian bertemu, akan terjadi pertempuran. Pada léak yang tingkatannya tinggi, maka yang terlihat adalah endihan cahayanya akan lebih besar atau sinar seperti meteor. Dan ilmunya yang lebih rendah maka sinarnya seperti kunang-kunang yang saling menyambar diudara. Kadang-kadang pertempuran ini berlangsung beberapa saat, kemudian keduanya menghilang, dan sinar tersebut akan meluncur kerumah Balian yang kalah. Yang kalah akan merasakan tubuhnya seperti ditusuk-tusuk dengan jarum, dalam posisi sedang tidur dirumah atau berada di depan sanggah cukcuk. Besok paginya, léak yang kalah ini akan muntah darah dan kemudian mati mendadak.

Dalam Kamus Bahasa Bali (Tim, 1999:521,645, 397). Menguraikan bahwa; Siat, perang; rames, perang hebat; masiat berperang, berkelahi; pasiat perang; wayange rame pesan, perang wayang itu amat ramai (hebat); siatang adu berperang; siatanga diadunya berperang, siatin, perangi; siatina, diperanginya; nyiating mengadu; nyiatin memerangi; pasiatan, peperangan; kasiatang diadu berperang; kasiatin, diperangi. Peteng, malam; mameteng, dalam keadaan gelap; peteng pitu, tujuh hal yang menyebabkan pikiran gelap, kecantikan, kekayaan, kepandaian, kebangsawanan, kemudaan, minuman keras, kebranian; kena pepeteng kena kegelapan waktu malam karena perbuatan sihir. Léak, jadi-jadian dengan mempergunakan ilmu hitam; léakina, mengganggu dengan ilmu hitam hingga saki. 

Dalam Usada Bali dijelaskan (Nala, 2002:113,185) bahwa; bila dua léak bermusuhan kemudian bertemu, akan terjadi pertempuran. Pada léak yang tingkatannya tinggi, maka yang terlihat adalah endihan atau sinar seperti meteor atau kunang-kunang yang saling menyambar diudara. Kadang-kadang pertempuran ini berlangsung beberapa saat, tetapi kebanyakan hanya sesaat saja, kemudian keduanya menghilang. Yang kalah akan merasakan tubuhnya seperti ditusuk-tusuk dengan jarum, pada hal dia sedang tidur atau berada di depan sanggah cukcuk. Besok paginya, léak yang kalah ini akan muntah darah dan kemudian mati mendadak. Lukanya dapat dilihat kalau mayatnya dimandikan dengan air kelapa gading. Tanpa air kelapa ini tubuh mayat akan tampak bersih tidak ada cacat luka. Tetapi léak yang telah luka dalam yang parah, kalau belum mati, dapat memohon kepada léak lawannya untuk menunda kematiannya hingga dia selesai mesangih, upacara potong gigi yang termasuk Manusa Yadnya. Itulah sebabnya orang yang menunda waktu mesangihnya, dicurigai sebagai korban kalah panga-léak-kan-nya dengan léak lain yang lebih sakti. Dia menunda kematiannya dengan mengulur waktu mesangihnya sampai pada ajalnya. Bila tidak demikian sesuai dengan perjanjian, begitu selesai masangih, dia langsung akan mati, akibat luka dalam yang dipendamnya selama ini. (Nala, 2002:113,185)

Lebih lanjut dijelaskan bahwa; Léak membuat orang menjadi sakit, bukan dengan masuk ke dalam badan orang yang dituju, tetapi dengan cara menakut-nakuti, sehingga dia menjadi sakit, akibat ketakutan yang amat sangat. Bagi mereka yang berani, tidak pernah takut kepada apapun, orang yang selalu melaksanakan kebenaran, melakukan dharma agama dengan penuh ketekunan, tidak akan mempan oleh kesaktian leyak ini. Orang semacam ini dikatakan kebal terhadap léak. Malahan léak Pamoron yang mengubah wujudnva menjadi binatang, akan dilihat oleh orang biasa sesuai dengan wajah sebenarnya. Léak ini dikatakan léak matah. Léak yang mentah, tidak mampu menakuti orang, karena tidak dapat berubah wujud, yang dapat menakut-nakuti orang sehingga sakit. Penangkal léak yang paling utama adalah ingat kepada Hyang Widhi dan melakukan ajaran dharma agama dengan benar dan baik.

Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh orang yang mengambil profesi sebagai Dukun atau Balian Pangiwa. istilah dukun di Bali sering disebut Balian, Tapakan atau Jero Dasaran. Yang dimaksudkan dengan Balian ini adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mengobati orang yang sakit. Kemampuan untuk menyembuhkan atau mengobati ini diperoleh dengan berbagai cara. Tidaklah seperti di dunia pengobatan modern, dokter atau para medik. Mereka adalah pengobat tradisional yang mendapatkan keahliannya berdasarkan atas tradisi, keturunan. taksu, pica atau dapat pula akibat belajar pada seorang yang telah menjadi Balian, dari berbagai cara lainnya. Pendidikan yang formal seperti dalam dunia kedokteran modern. Karcna itu ada beberapa Balian yang tidak mau disebut Balian alau Jero Dasaran. Mereka hanya mengaku sebagai orang yang menolong, bukan mengobati. Dia hanya mapitulung dan bukan matatambanan. Orang lainlah yang menyebut dia sebagai Balian atau dukun, bukan dirinya sendiri. Berdasarkan atas berbagai kriteria maka Balian di Bali dikelompokkan sebagai berikut : Berdasarkan tujuannya dikenal 2 macam Balian, yakni Balian Panengen dan Balian Pangiwa. Berdasarkan alas perolehan keahliannya, Balian terdiri alas 4 kelompok. yakni : 1). Balian Katakson, 2). Balian Kapican, 3). Balian Usada dan 4). Balian Campuran.

Balian Panengen adalah Balian yang tujuannya mengobati orang yang sakit sehingga menjadi sembuh. Balian ini sering pula disebut Balian Ngardi Ayu, dukun yang berbuat kebaikan. Dalam mitos rwa-bhineda. dua hal yang selalu bertentangan dalam satu kesatuan, kala tengen atau kanan berarti pihak yang baik dan lawannya, kiri atau kiwa berarti pihak yang jahat. Balian tipe ini pada umumnya bersifat ramah, terbuka, penuh wibawa dan suka menolong. Siapapun akan dilolongnya, tidak membedakan apakah dia orang baik atau jahal, orang miskin atau kaya, semua dilayani sesuai dengan penyakit yang dideritanya.

Balian Pangiwa, Balian ini sebenarnya dasar pengetahuannya hampir sama dengan Balian Panengen. Hanya sasaran yang dituju berbeda. Balian Pangiwa bertujuan bukan untuk menyembunkan orang yang sakit, tetapi membuat orang yang sehat menjadi sakit dan orang yang sakit menjadi bertambah sakit, bahkan sampai meninggal. Orang yang dimusuhi oleh Balian Pangiwa akan menerima akibat berupa sakit yang dapat dibuat oleh Balian ini. Begitu pula terhadap musuh kila, dengan meminta pertolongan pada Balian Pangiwa musuh kita akan menderita sakit bahkan sampai mati, karena kesaktian aji wegig dari Balian ini. Itulah sebabnya Balian tipe ini sering disebut Balian Aji wegig, dukun yang menjalankan kekuatan membencanai orang lain atau berbuat jahil, usil terhadap orang lain. Balian jenis ini amat sukar dilacak. Pekerjaannya penuh rahasia, tertutup dan misteri. Tidak sembarang orang yang datang kepadanya dipenuhi keinginannya untuk membencanai musuh atau orang yang dibenci. Diselidiki dengan seksama disertai ketelitian yang tinggi akan maksud orang yang datang meminta tolong itu. Setelah yakin bahwa orang yang datang itu dapat dipercaya barulah diberikan apa yang diminta, membuat orang yang dimusuhi menjadi sakit. Sering pula Balian tipe ini mengganggu Balian Panengen pada waktu mengobati orang sakit, sehingga tidak sembuh-sembuh. Jahil dan usil merupakan sisi lain dari Balian Aji Wegig ini. Mendatangkan hujan pada waklu orang scdang mclakukan upacara, menahan hujan (nerang) pada waktu orang sedang bercocok tanam, serta menguji kesaktian dengan Balian lainnya adalah kegemaran dari Balian Pangiwa ini. Di samping itu Balian ini mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan, terutama orang yang terkena aji wegignya sendiri atau dari orang lain. Jenis dukun inilah yang melakukan berbagai cara untuk membuat korbannya sakit dengan mempelajari ilmu pangeléakan, desti, papasang sasirep, bebahi dan lain-lainnya. Dalam melakukan aksinya Balian Pangiwa ini sering bertemu dan berkelahi secara magis dengan Balian Panengen. Pada umumnya Balian Pangiwa selalu kalah dengan Balian Panengen, karena Hyang Widhi selalu berpihak pada yang benar. Ajaran pangiwa dan panengen berasal dari satu sumber, tetapi pelaksanaannya yang berbeda karena didasari oleh tujuan yang berlainan. Yang satu bertujuan untuk membencanai orang dan yang satu bermaksud untuk menyembuhkan orang. 

Balian Katakson, balian jenis ini adalah Balian yang mendapat keahlian melalui tak Taksu adalah kekuatan gaib yang masuk ke dalam diri seseorang mempengaruhi orang tersebut, baik cara berpikir, berbicara maupun tingkah lakunya. Karena kemasukan taksu inilah orang tersebul mempunyai kemampuan untuk mengobati orang sakit. Itulah sebabnya dia dinamai Balian Katakson (ka + taksu + an), dukun yang kataksuan, kemasukan taksu (kasurupan). Dia berfungsi sebagai mediator, penghubung. Balian ini termasuk balian penengen, hanya untuk mengobati.

Balian Kapican, balian Kapican adalah orang yang mendapat benda bertuah yang dap dipergunakan untuk menyembuhkan orang yang sakit. Benda bertuah ini disebut pica. Pica ini dapat berupa keris kecil, batu permata, tulang, gigi besi atau logam lainnya, gigi kilap, serta benda lain yang bentuknya aneh. Ada malahan yang berupa binatang seperti kucing, burung, anjing atau binatang lainnya. Benda pica ini diperoleh biasanya melalui petunjuk dalam mimpi. Di dalam mimpinya dijelaskan tentang tempat benda tersebut dan khasiatnya untuk pengobatan. Kalau berupa binatang, maka dia akan datang sendiri atau dijemput disuatu tempat. Dengan mempergunakan benda-benda atau binatang pica ini dia mampu menyembuhkan orang yang sakit. Sejak itu mereka disebut Balian Kapican, dukun yang mendapat pica atau yang kapican (ka + pi + ca + an) oleh suatu kekuatan gaib.

Balian Usada, yang dimaksud dengan Balian Usada ini adalah seseorang yang dengan sadar belajar tentang ilmu pengobatan, baik melalui aguru waktera, belaja pada seorang Balian yang telah mahir dalam ilmu pengobatan mampu belajar sendiri melalui lontar usada. Karena untuk menjadi balian tipe ini melalui proses belajar, maka orang Barat menyebut balian jenis ini dengai julukan dokter Bali. Kemampuan pengetahuan Balian jenis ini baik di bidang anatomi dan fisiologi maupun di bidang patologi. pharmakologi dan farmasi adalah amat mengagumkan mereka. Begitu pula dalam hal men-diagnosis, terapi dan prognosis suatu penyakit kebanyakan tepat. Dan kepustakaan para Balian Usada ini cukup memadai. 

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa; Masiet Peteng, yang disebut dengan black magic (Ilmu Hitam) dilakukan oleh Balian Pangiwa yang dikuasi oleh emosi negatif terkait dengan kehidupannya sehari-hari. Ketika mereka bertemu pada orang yang memiliki tingkat emosional yang sama, dan sama-sama berprofesi sebagai Balian, maka terjadilah siat peteng. Bila dua léak bermusuhan kemudian bertemu pada umumnya, matanya saling molotot, saling masebeng ini sebagai awal akan terjadi pertempuran. Pada léak yang ilmunya tinggi, cahayanya akan lebih besar seperti meteor dan yang ilmunya lebih rendah cahanya lebih kecil seperti kunang-kunang. Ini akan saling menyambar di udara, yang berlangsung hanya sesaat. Cahaya yang menang akan mengejar cahaya yang kalah sampai di atas rumahnya. Kemudian keduanya menghilang, yang kalah akan merasakan tubuhnya seperti ditusuk-tusuk dengan jarum, dalam posisi sedang tidur dirumah atau berada di depan sanggah cukcuk. Besok paginya, léak yang kalah ini akan muntah darah dan kemudian mati mendadak, atau mati atas pengampunan dari Balian yang menang. (ww)

Penulis : Dr. Ida Ayu Gde Yadnyawati, M.Pd
Tanggal : 2012-08-05
(MAJALAH KEBUDAYAAN BALI TAKSU ISSN:834X)

Jika Kamu Suka Dengan Postingan ini, Bagikan Link Ini Sesuka kamu



»»  Baca selengkapnya.....

Ciri-Ciri Orang Bisa Ngeleyak "Berajah Cinging"


Dalam prakteknya di masyarakat ciri-ciri Pangeleyakan bersumber dari perilaku manusia, yang disebut dengan Balian Pangiwa dan Balian Panengen, seperti dijelaskan oleh Nala (2002:114). Balian panengen adalah Balian yang tujuannya untuk mengobati orang yang sakit sehingga menjadi sembuh. Balian Pangiwa bertujuan bukan untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi membuat orang yang sehat menjadi sakit dan yang sakit menjadi bertambah sakit, bahkan sampai meninggal. Balian atau dukun jenis ini sangat sulit untuk dilacak, pekerjaannya sudah penuh rahasia, terlalu tertutup dan misteri. Tidak sembarang orang yang datang dapat dipenuhi keinginannya untuk membencanai musuh atau orang yang dibenci. Jadi dukun/balian inilah yang melakukan berbagai cara untuk membuat korbannya sakit dengan mempelajari ilmu pengeliyakan, desti, pepasangan, sasirep, bebahi dan lainnya. 

Pengeliyakan adalah sosok tubuh manusia yang tampak seperti bhuta atau binatang. Desti adalah suatu kekuatan gaib yang dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit. Biasanya mempergunakan benda-benda yang berasal dari orang yang akan dibencanai yang akan dikenai penyakit. Pepasangan adalah benda yang diisi kekuatan gaib atau magis, serta ditanam di dalam tahanh atau disembunyikan secara rahasia ditempat tertentu untuk membendanai seseorang. Benda tersebut dapat berupa tulang, taring binatang, gigi binatang, daun lontar yang telah dirajah, rambut kain yang telah diisi tulisan dan lainnya. Bebai atau Bebahi adalah penyakit yang dibuat dari raga janin dan Kanda Pat, (empat saudara yang dapat dikirim masuk kedalam tubuh seseorang yang ingin membencanai sehingga jatuh sakit. (Nala, 2002:177-186).

              Yang terdapat dalam lontar Aji Pengeliyakan milik Griya Sangket Karangasem salinan (I Nengah Widana,1995), dan terjemahan I Nyoman Neraka (2008). Lontar tersebut scara garis besarnya, menguraikan tentang: 1). Pasuryan Pangiwa, segala ilmu (pengeliyakan) dapat dicapai dengan terlebih dahulu memusatkan pikiran, beryoga. 2). Gni Sambawana, atau disebut juga pangwa sari. Ini (pengeleyakan) yang paling utama 3). Cambra Berag, ini sangat sakti, karena bersumber dari sebagain kecil Hyang Aji sarswati sebagai batasannya. 4). Rabut Sapetik, ini dapat digunakan membuat orang menjadi gagu semua yang bersuara. 5). Maduri Reges, ini merupakan leyak campuran dari beberapa agama; guna Makasar, guna Jawa, guna Bali, guna leyak putih dari Mekah. 6). Pangiwa Utamaning Dadi, supaya menjadi Butha Dengen (yang membuat bulu kuduk merinding). 7). Rerajahan ring Papetek (sabuk), untuk membersihkan diri, artinya tidak semua pangiwa itu negatif (lihat aksara IV. Dan V). 8). Panugrahan pangiwa, memohon panugrahan kepada Yang Nini Bhatari Gangga, untuk menghidupkan pngiwa yang ada ditengah mata. 9). Tata cara pengiwa untuk orang perempuan, untuk menggabungkan agar Bhtara Brahma, Wisnu dan Iswara berkumpul menjadi Bhatara Kala, agar kesaktiannya tidak terkalahkan. 10). Pengeliyakan Uwig, agar menjadi Bhuta Baliga (lihat aksara VIII dan IX). Pangiwa Swanda, ini adalah ratunya pangiwa. 12). Brahma Maya Murti, agar nampak seperti Hyang Brahma Murti, bertangan delapan ribu berbadan sembilan ribu, berkaki 1000 (alaksa), tangangan memamajang, dan memakai anting-anting bintang di langit. 13). Ni Calon Narang, dapat berubah wujud sampai seribu kali. 14). Rata Gni Sudha Mala, (tanpa penjelasan). 

Jadi seperti apa yang diuraiakan di atas, ternyata tidak ada ciri khusus yang menyatakan tentang pengeliyakan, karena ini bersifat rahasia dan harus dirahasiakan. Tetapi untuk megetahui, secara samar-samar dapat dipahami melalui cerita bali Kuno tentang: I Dongding, yang menceiterakan Balian Baik dan Balian Jahat.

Biasanya pada jaman Bali Kuna, ketika ingin menidurkan anak atau cucunya, diawali dengan cerita. Ceritanya seperti dibawah ini. 

I Dongding, adalah anak pertamanya Men Dongding. Dongding yang sudah berumur 10 tahun, dan ketika itu ibunya sedang hamil tua. Ayahnya adalah seorang petani. Ketika ayahnya sedang bekerja di sawah, maka Ibu Dongding perut mendadak sakit. Maka dipanggilah anaknya, yang bernama I Donding. ”Dongding-Dongding, mai ja malu, kesini sebentar”. Maka datanglah I Donding dekat ibunya, ibunya berkata; ”perut ibu sedang sakit tolong carikan ibu Balian untuk membantu kelahiran. Cari balian yang rumahnya beratap Ijuk adalah Balian Baik, dan jangan cari Balian yang rumahnya bertap Alang-Alang dia adalah balian Jahat. Sebab Balian tersebut rumahnya berdampingan, jangan sampai salah ya nak!, demikian ibunya menuyuruh. Maka I Donding datang kerumah Jero Balian, tetapi setalah sampai didepan rumah Balian ia lupa. Rumah atap Alang-alang apa Ijuk? Tetapi akhirnya dalam kebingungan I Donding memilih yang bertap alang-alang. Kemudian Donding mengetuk pintu, sdambil berkata: ”Jro Balian... Jro Balian....Jro Balian” Jro Balian menyapa, ”nyen to kauk-kauk?” siapa itu memanggil-magil. ”Tiang cucun Dadonge I Donding!”, ketika melihat wajah Nenek Renta Tua, yang berwajah Cinging, berpakian poleng hitam putih kumat. I Donding merasa dirinya salah mencari Balian, dan bulu kuduknya meriding. ”Men kenken cening tumben ngalih dadong mai? (kenapa kamu tumben kesini.) Demikian kata Jro Balian Nenek Renta tersebut, kemudian I Donding menjelaskan, ”Dadong orahina nulungin mementiange sedeng beling gede” (Dadong diseruh membatu melahirkan ibu saya). ”Ya... kalau begitu dimana rumahmu?. Disitu didekat bale Banjar, tiga rumah keutara. Nenek tidak tahu jaklannya, silahkan kamu menangkat ayam Nenek yang berwana merah, dan cabut bulunya sebagai petunjuk jalan. 

Ringkas cerita, setelah sampai dirumah dan kebetulan juga Bapaknya sudah datang dari sawah, maka I Dongding mengatakan sudah mencari Balian yang rumahnya beratap Alang-alang. Ibu dan Bapaknya kaget, ibunya berkata; ”bah... Donding-dongding.... sing buwungan suba meme jani mati. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, I Dongding disuruh menyapu bulu ayam sudah dtebarkan tadi, setelah itu mereka membagi tugas. Ibu-nya Donding bersembunyi dibwah ketungan, (tempat menumbuk padi. Ayah dan I Donding bersembunyi di Menten (Balu Utara), kemudian di pintu dapur dipasang talenenan (tempatt memotong daging) dan di Gebeh (tempat air) ditaruh ular. Kemudian dengan jalan yang tersiok-siok akhirnya ia datang kerumahnya Dongding, dan memanggil-mangil tidak ada yang menjawab. Akhirnya dia duduk di atas ketungunan, sambil mencari kutu dirambutnya. Setiap kutu yang diperoleh di pencat dan bersuara ”Klepit”, kemudian Ibu Donding duduk dibawah ketungan, dia tertawa. Akhirnya dia ketahuan oleh Jro Balian yang Cingimg. ”Ye... memen Dongding dini mengkeb, mai-mai tulunga melahirkan”, (Hai....Ibu Dongding disini ngumpet, mari-mari aku tolong untuk melahirkan). Ibu Dongding dengan rasa takut, akhirnya keluar dari temat persembunyian. Dengan sigap Jro Balian, dengan rambut gimbal yang tak teurus membantu melahirkan. Begitu lahir bayi yang dikandung, langsung digendong dan dibelai-belai sambil tertawa.
        
Durga Taweng

              Tanpa berkata panjang lebar akhirnya anak dan Ibu-nya Donding dimakan bersama satu persatu, dan sisa tulangnya dibiarkan disamping ketungan. Karena perut yang kenyang, kemudian dia kedapur mencari air. Baru dibuka pintunya, kepalanya di bentur oleh talenan, kemudian baru dibuka tempat airnya, dia dipatuk oleh ular. Akhirnya Jro Balian, meningal karena di patuk ular. Kemudian I Donding dan Bapaknya keluar dari Bale Meten, sambil membawa celurit dan Alu. Ketika itu mereka berdua melihat seekor anjing, datang dari timur laut sambil melangkahi tulang belulang Ibu dan anak yang baru lahir tersebut. Akhirnya mereka dapat hidup kembali, seperti sedia kala.

Dari cerita di atas dapt dilihat ciri-ciri, orang yang mempelajari Ilmu pengeliyakan adalah: 1). Berpakian kumat, artinya pakiannya jarang dicuci dalam keseharian hidupnya, 2). Berwajah Cinging, artinya suka mengganggu atau aji Wegig, 3). Rambut gimbal, artinya jarang berkeramas, 4). Menggunakan ayam merah (biying), artinya memuja Dewa Brahma, dalam ajaran yang disebarkan melalui emosional yang sering disebut Dewi Durga, 5). Bersuara klipit, artinya memiliki banya kutu besar-besar, akibat rambutnya tidak pernah dicuci. Pada umumnya penbgeliyakan adalah seperti di atas, tapi tidak semua ciri-ciri ini tidak berlaku semua pengeliyakan, karena banyaknya jenis-jenis pengeliyakan, seperti disebutkan di atas bahwa Ni Calonarang dapat berubah wujud sampai 1000 kali, artinya paling tidak ada 1000 ciri, dan setiap perubahan minimal ada 5 ciri (ww).

Penulis : I Wayan Watra, FIAK-UNHI
Tanggal : 2012-08-05
TAKSU
MAJALAH KEBUDAYAAN BALI ISSN:1907-834X

Jika Kamu Suka Dengan Postingan ini, Bagikan Link Ini Sesuka kamu



»»  Baca selengkapnya.....