Umat Hindu merayakan Nyepi, 12 April ini. Pada
Hari Raya Nyepi, suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan seperti biasa. Umat
Hindu melaksanakan Catur Brata, penyepian yang terdiri dari amati geni (tidak
menggunakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak
bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan).
Secara sekilas, filosofi Nyepi terlihat
seperti ajaran yang sekadar mengajak manusia mengambil jeda sejenak dari dunia
atau bahkan menganggap dunia sebagai buruk.
Padahal, jika ditelaah, ajaran Nyepi sejatinya
punya makna yang luar biasa konkret lagi positif bagi kehidupan duniawi kita; yaitu ia mampu
mencetuskan environmentalisme Hindu yang bisa bermanfaat bagi pelestarian
lingkungan di tengah geliat dahsyat ekonomi industri yang tinggi karbon.
Dalam konteks penggunaan energi, hasrat
ekonomi industri yang rakus melahap energi dan gemar melepaskan karbon lewat
cerobong pabrik itu memang sangat berbahaya.
Bayangkan saja, data National Geographic
(2011) menunjukkan penggunaan bahan bakar minyak tinggi karbon telah melepaskan
16.000 kilometer kubik karbon dioksida ke atmosfer per tahun! Karbon inilah
yang lalu menumpuk sebagai selubung di atmosfer sehingga alih-alih membiarkan
panas terlepas ke udara, selubung itu justru memantulkan panas kembali ke Bumi
dan menyebabkan pemanasan global.
Pada titik inilah, semangat Nyepi yang
mematikan semua aktivitas selama satu hari penuh bisa berujung pada penekanan
emisi karbon. Artinya, salah satu esensi Nyepi adalah upaya merawat alam supaya
lebih seimbang dan terpelihara. Singkat kata, spirit Nyepi sekaligus menjadi
ilham deras bagi munculnya environmentalisme Hindu.
Chipko
dan Gandhiisme
Ruh Nyepi yang ramah lingkungan memang
menginspirasi gerakan-gerakan besar bercorak Hindu yang bertujuan melestarikan
alam. Setidaknya ada dua gerakan terpenting semacam itu. Pertama, gerakan
Chipko.
Memiliki arti “merangkul”, Chipko adalah
sebuah gerakan yang berdiri tahun 1913 dengan tujuan melindungi tanah-tanah
hutan (Tucker dan Grim, Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup, Kanisius,
2003:147).
Setelah sempat vakum, gerakan ini dihidupkan
kembali pada 1977 oleh sebuah kelompok perempuan di daerah Himalaya yang
mengikat benang-benang suci dan membentuk rantai mengelilingi
pohon-pohon—persis seperti gerakan memeluk—supaya tidak terkena aksi penebangan
besar-besaran oleh perusahaan penambangan.
Kaum perempuan yang tinggal di daerah-daerah
berhutan selama beberapa milenium memang memiliki ketergantungan hidup kepada
pohon. Hutan menyediakan makanan ternak, pupuk, makanan, air, dan bahan bakar.
Oleh karena itu, penebangan hutan mengganggu keseimbangan ekologis dan
menyebabkan kerusakan besar di pelbagai belahan India.
Kedua, Gandhiisme. Berpijak pada ajaran tanpa
kekerasan (ahimsa) dan tanpa kepemilikan (aparigraha), Gandhi tegas
mengampanyekan pentingnya bagi perekonomian India untuk membuat desa-desa
mandiri yang giat melakukan swasembada kebutuhan demi meniadakan impor barang
(Gandhi, The Village Reconstruction, 1966:43).
Menurut Gandhi, ekonomi industri yang rakus
energi dan gemar berpolusi pasti akan melahirkan kompetisi, keserakahan, dan
eksploitasi terhadap desa-desa. Dengan demikian, industrialisasi cuma akan
melahirkan keinginan tak kunjung henti dari manusia yang hanya bisa dipuaskan
oleh aktivitas buas mesin industri yang, lagi-lagi, mengepulkan karbon hitam perusak
lingkungan.
Oleh karena itu, melakukan swasembada di
tingkat desa, khususnya makanan dan pakaian, akan meminimalkan kebutuhan
manusia sekaligus menekan keperluan akan sarana-sarana yang digunakan untuk
menghasilkan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Ini bisa mengerem laju industri dan
tingkat perusakan lingkungan akibat ekonomi modern yang mendewakan teknologi
pengeksploitasi alam.
Kearifan
Lingkungan
Dari sini, kita bisa lihat bagaimana ajaran
Nyepi mampu menjadi aset kultural andal bagi umat manusia untuk menghalau
bahaya lingkungan, yang salah satunya disebabkan pemanasan global akibat limbah
karbon dari kegiatan ekonomi industri modern berbasiskan teknologi.
Gerakan Chipko dan swasembada ajaran Gandhi
adalah bukti betapa semangat Nyepi mampu mewariskan sejumlah kearifan
lingkungan luar biasa yang sangat relevan dan aktual bagi kehidupan
kontemporer.
Pertama, gerakan melindungi pohon ala Chipko kini
digalakkan secara intens oleh masyarakat global. Ini karena komunitas dunia
kini mulai menyadari betapa pentingnya pohon sebagai penyerap emisi karbon.
Lebih jauh lagi, karenanya, perekonomian
mondial kini mengenal konsep perdagangan karbon (carbon trading), di mana
negara yang masih memiliki banyak pohon penyerap karbon bisa menjual potensi
serapan mereka itu—berupa janji tidak menebang pohon—dengan harga mahal kepada
negara industri yang masih ingin mengepulkan emisi karbon.
Kedua, gerakan mengurangi impor ala Gandhiisme
juga mulai diadopsi banyak warga dunia. Munculnya slogan-slogan berbau
proteksionisme seperti Buy America (beli produk-produk buatan Amerika sendiri)
yang didengung-dengungkan Presiden Obama adalah contoh telak betapa ajaran Gandhi
yang diilhami spirit Nyepi telah mampu merambah ke belahan dunia Barat—bahkan
kiblatnya langsung, AS—sana.
Terbukti ajaran mengurangi impor mampu
menumbuhkan kemandirian bangsa, memperkuat perekonomian lokal di tengah krisis
finansial global, sekaligus mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
Akhirulkalam, Hari Raya Nyepi seyogianya
jangan ditafsirkan sebagai laku spiritual semata, melainkan sebagai bentuk
ibadah dari salah satu agama tertua di dunia yang ternyata memiliki dampak
nyata bagi kehidupan umat manusia; baik dari segi perekonomian maupun
lingkungan. Selamat Hari Raya Nyepi!
Satrio
Wahono ;
Magister
Filsafat UI dan Pengajar FE Universitas Pancasila
SINAR
HARAPAN, 11 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar